GEREJA DAN POLITIK (Mendesain Kembali Keterlibatan Gereja dalam Politik Bangsa)

Pengantar

Gereja dan politik adalah dua entitas yang berbeda tetapi sekaligus saling melayani dan mengisi. Gereja sekaligus politis dan politik sekaligus sebagai sakramen yaitu tanda kehadiran Allah. Bagaimana mungkin politik itu sebagai sakramen? Apa alasan yang mendasar? Tentu saja begitu banyak keraguan dan perasaan miris ketika mendengar ungkapan bahwa politik sebagai sakramen.

            Salah satu perdebatan yang cukup serius akhir-akhir ini adalah mengenai hubungan antara Gereja dan politik sebagai institusi sekular. Bagaimana Gereja memposisikan diri dalam kancah politik yang praktisnya berkisar pada usaha perebutan dan mempertahankan kekuasaan. Dan sikap politik yang demikian bergejolak di tengah berjuta rakyat yang sedang bersusah payah untuk mempertahankan hidup sebagai bentuk haknya yang sangat substansial. Seperti apa sikap Gereja terhadap politik dan seperti apa politik yang digambarkan Gereja supaya tidak berbenturan dengan tradisi dan ajaran Magisterium Gereja? Perlu dilihat kembali apa itu Gereja sebagai sakramen keselamatan dan politik sebagai sakramen juga. Bagaimana keduanya dikawinkan dan saling melayani satu sama lain?

 

Gereja – Sakramen Keselamatan Universal

Kateksimus Gereja Katolik  memandang Gereja sebagai sakramen keselamatan yang sifatnya universal. Keselamatan itu tidak untuk dirinya sendiri tetapi untuk dunia di luar dirinya yang lebih universal. Kata Yunani “misterion” (rahasia) dijabarkan dalam bahasa Latin dengan dua istilah: “mysterium” dan “sacramentum”. Menurut tafsiran di kemudian hari istilah “sacramentum” lebih banyak menonjolkan tanda kelihatan dari kenyataan keselamatan yang tak kelihatan, sedangkan kenyataan tak kelihatan itu sendiri dimaksudkan dengan istilah “mysterium”. Dalam arti ini Kristus sendiri adalah misteri keselamatan: “Misteri Allah tidak lain dari Kristus sendiri.

Karya keselamatan dari kodrat manusiawi-Nya yang kudus dan menguduskan adalah sakramen keselamatan yang dinyatakan dalam Sakramen-sakramen Gereja (yang oleh Gereja-gereja Timur juga disebut “misteri-misteri kudus”) dan bekerja di dalamnya. Ketujuh Sakramen itu adalah tanda dan sarana, yang olehnya Roh Kudus menyebarluaskan rahmat Kristus, yang adalah Kepala di dalam Gereja, Tubuh-Nya. Jadi, Gereja mengandung dan menyampaikan rahmat yang tidak tampak, yang ia lambangkan. Dalam arti analog ini, ia dinamakan “sakramen”.[1]

Sebagai Sakramen, Gereja adalah alat Kristus. Gereja di dalam tangan Tuhan adalah “alat penyelamatan semua orang” (LG 9), “Sakramen keselamatan bagi semua orang” (LG 48), yang olehnya Kristus “menyatakan cinta Allah kepada manusia sekaligus melaksanakannya” (GS 45,1). Ia adalah “proyek yang kelihatan dari cinta Allah kepada umat manusia”. Cinta ini merindukan, “supaya segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu padu menjadi satu Tubuh Kristus, serta dibangun menjadi satu kanisah Roh Kudus” (AG 7).

Gereja dipanggil bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi saksi Kristus yang membawa keselamatan dunia. Yesus sendiri menyebut peranan Gereja dalam rangka peristiwa keselamatan itu. Ada tertulis demikian, “Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi, dalam namaNya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semuanya ini.” (Luk 24:46-48). Agar Gereja mampu menjadi saksiNya, Kristus menjanjikan Roh Kudus (Luk 24:49).  Dalam hal ini, Konsili Vatikan II menyadari dengan baik tugas perutusannya, “Kepada para bangsa dan Gereja diutus oleh Allah untuk menjadi ‘Sakramen Universal    keselamatan’.”(AG1),      Gereja        sebagai

sakramen keselamatan Allah bagi dunia berarti bahwa Gereja menjadi simbol yang Real dari keselamatan Allah yang terlaksana dalam Kristus. Dengan kata lain, Kristus tetap berkarya dan menyelamatkan dunia, tetapi sebagai tanda kehadiranNya yang menyelamatkan itu kini Kristus menggunakan Gereja.
Menurut hakikatnya, eksistensi Gereja tidak bisa dipisahkan dengan tugas perutusannya menjadi saksi Kristus dan sakramen keselamatan Allah. Tugas perutusan itu datang dari Tuhan Yesus Kristus sendiri. Hal ini jelas dinyatakan dalam AG 5 yang antara lain menyatakan bahwa Kristus sesudah kebangkitanNya, “ ……….mendirikan GerejaNya sebagai sakramen keselamatan. Ia mengutus para rasul ke seluruh dunia, seperti Ia sendiri telah diutus oleh Bapa (Yoh 20:21), perintahNya kepada mereka: Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu, dan baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus; dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu (Mat 28:19).” Tugas perutusan ini hanya terlaksana berkat Roh Kudus yang diutus oleh Bapa dan Kristus sendiri. “Untuk melaksanakan itu, Kristus mengutus Roh Kudus dari Bapa, supaya Ia mengerjakan karya penyelamatanNya dalam jiwa manusia, dan menggerakkan Gereja untuk memperluas diri” (AG 4).

Bagaimana dengan pernyataan Gereja bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan atau di luar Kristus tidak ada keselamatan? Pernyataan ini sebenarnya lahir dalam konteks zaman dan situasi polemik Gereja akan ajarannya yang suci. Pada saat itu terdapat banyak ajaran sesat atau Bidaah yang muncul berhamburan. Melihat kenyataan ini, Gereja mengeluarkan pernyataan  bahwa di luar Gereja yang suci tidak ada keselamatan. Melihat apologi ini, sebenarnya di luar Gereja yang sifatnya universal masih ada keselamatan bahkan keselamatan yang di tawarkan Gereja diperuntukkan bagi semua orang dengan menembusi sekat Ras, Klaim Kebenaran agama-agama, warna kulit bahkan antara golongan timur dan barat. Pernyataan yang cukup problematis ini sebenarnya berlaku hanya dalam lingkungan Gereja sendiri yang sedang mengalami kesakitan internal dengan lahirnya ajaran-ajaran sesat.

 

Politik Sebagai Sakramen

            Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan politik  sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Akan tetapi sejatinya pengertian politik itu dapat dilihat dalam pendefinisian klasik oleh Aristoteles  bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.[2] Lebih lanjut Aristoleles mengatakan bahwa manusia adalah mahluk berpolitik ( zoon politikon) yang dapat mengembangkan dirinya bersama dengan sesama warga negara polis. Senada dengan itu, Y.B. Mangunwijaya menjernihkan arti politik yang selama ini sering dimengerti secara sempit dengan berpaling kepada tradisi filsafat Yunani. Pemikiran utama mereka, bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia ini dan bagaimana relasi yang harus dibangun antara individi yang lainnya. Politik adalah pengabdian kepada kepentingan masyarakat, bangsa. Yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat bukan pengelola Negara.[3]

Sekarang politik dilihat sebagai sakramen.  Johann Baptist Metz, seorang teolog Jerman, pada tahun 1966 menggunakan pengertian teologi politik untuk kerangka berpikirnya yang kemudian muncul banyak suara kritis. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai seseorang yang hanya mencari popularitas dengan menggunakan sebuah pengertian yang kontroversial. Memang kontroversial, karena pengertian ini masih mengingatkan orang akan gagasan Carl Schmitt yang berciri integralistik.[4] Betapa orang begitu trauma mensakralkan apa yang namanya politik. Pola traumatis ini muncul dari gagasan yang terlanjur melekat dalam ingatan kebanyakan orang bahwa politik itu kotor. Mereka belum mengkaji sisi lain dari politik sebagai perbuatan yang suci.

Istilah “sakramen politik” barangkali sudah membuat kita sekalian  mengernyitkan dahi, bahkan lebih jauh mengira sebagai ajaran baru yang ‘menyesatkan’ jemaat beriman.  Jumlah sakramen sudah ditetapkan dalam  Konsili Trento (1545-1563) yang mengajarkan bahwa jumlah sakramen hanya tujuh (DS 844: Canones de sacramentis in genere). Sebelum penetapan oleh Konsili tersebut, jumlah sakramen dalam Gereja Katolik Roma mengalami “naik turun”, pernah jumlah sakramen mencapai dua puluhan, tetapi juga pernah “belasan”. Akan tetapi, sejak Konsili Trento Gereja Katolik Roma tidak lagi memperdebatkan jumlah sakramen. Tujuh saja. Tidak lebih. Tidak kurang. Memang rasanya, jumlah itu sedikit banyak dipaksakan, berbau angka magis.[5]

Meskipun begitu, dewasa ini ada kecenderungan untuk memikirkan ulang sakramen Baptis (permandian), Krisma (penguatan atau sidi), dan Ekaristi (Perjamuan Tuhan) sebagai satu kesatuan Sakramen Inisiasi. Sementara itu, tetap dikemukakan pula pandangan mengenai hidup sakramental yang mengakui Kristus sebagai sakramen utama atau tanda rahmat Allah yang berdaya guna, dan Gereja yang dirintis-Nya sebagai sakramen dasar, yang diwujudkan dalam ketujuh sakramen. Pandangan seperti ini dikembangkan oleh Otto Semmelroth, Karl Rahner dan Edward Schillebeeckx.[6] Pemikiran Eddy Kristianto, OFM tentang politik sebagai sakramen sebenarnya bukanlah sebauh dogma personal yang harus dipaksakan penerimaannya oleh Gereja universal. Pemikiran ini lebih berdimensi kritik atas Gereja yang masih alergi dengan istilah politik dalam dirinya sebagai agen keselamatan dunia. Memang benar kalau kita menengok kembali sejarah Gereja masa lalu di mana kekuatan politis dan Gereja tidak ada pemisahan yang jelas. Bahkan Gereja tunduk di bawah kekuasaan Negara ( politik) dan  di sisi lain Negara juga tunduk di bawah Gereja (pemerintahanTheokratis). Lalu di manakah letak kemandirian Gereja sebagai agen keselamatan?

Tentu saja politik sebagai sakramen bukan sebuah teologi yang fantastis dan sebuah teologisasi politik. Bukanlah teologi yang mengawang dan tidak bersentuhan dengan realitas manusia yang sedang memijakan kakinya di bumi yang sedang terluka oleh peperangan, bahaya globalisasi yang tidak bijak dan dunia yang terkoyak akibat kerakusan manusia. Sakramen polittik bukan hendak menggaet politik sebagai bentuk teologi baru. Politik tetap sebuah entitas otonom, tetapi diberi warna yang manusiawi dan Ilahi.  Oleh karena politik adalah tanda. Salah satu hal pokok Yang mau dikedepankan adalah mengenai keterlibatan Gereja dalam ruang publik ( kepentingan umum) untuk mencapai target Bonnun Commune dan summum Commune ( kebaikan umum) yang selaras dengan suara keprihatian Gereja akan dunia.

Politik merupakan tanda dan sarana penyelamatan atau politik sebagai sakramen yang membebaskan rakyat dari kemelaratan hidup.[7] Dalam kaitan dengan politik sebagai sakramen, ruang publik perlu bijaksana  melihat apa yang menjadi kegelisahan kita bersama. Kegelisahan saat ini adalah bertambahnya angka statistik pengangguran, gizi buruk, dan kemiskinan.

 

Desain Keterlibatan Gereja Dalam Politik

Saya hendak mengutip suara konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes;

“ kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar adalah kegembiraan dan harapan murid-murid Kristus pula. Dan tidak terdapat apapun yang benar-benar manusiawi yang tidak bergema di dalam hati mereka. Karena persekutuan mereka terdiri dari manusia-manusia yang dipersatukan di dalam Kristus dan dibimbing oleh Roh kudus dalam ziarahnya menuju Bapa dan menerima warta keselamatan ……[8]

Keterlibatan Gereja dalam politik mengarah kepada tindakan keselamatan universal yang mengemban kecemasan, kegembiraaan dan dukacita seluruh umat manusia. Point penting dalam hal ini adalah tindakan Gereja yang partisipatif dalam pesoalan universal. Gereja mengambil bagian secara intens dan tanpa ada rasa takut sedikit pun. Perang terhadap kemiskinan, keborokan moral, dan masalah ketidakadilan serta pelecehan Hak Asasi Manusia mengusik nurani Gereja untuk bersaksi dan terlibat. Sehingga teologi yang suci bagi Gereja harus menjadi teologi yang terlibat atau partisipatif.

Perasaan traumatis umat Kristen  terhadap politik masih membekas. Bahkan begitu banyak orang yang kebingungan, entah mau menceburkan diri kearena yang namanya politik atau tidak. Mereka terlanjur diindoktrinasi bahwa politik itu kotor. Namun  sejatinya politik itu baik yaitu mengantar segenap umat manusia ke kebaikan bersama. Kalau semua orang sampai kepada pemahaman ini, maka  tidak ada yang takut untuk berpolitik bahkan tidak ada kata  haram baginya. Namun melihat kenyataan sekarang, begitu banyak umat yang terjun dalam pertarungan politik praktis. Bahkan kaum Klerus pun turut tercebur dan berenang secara nyaman di dalamnya. Namun pada prinsipnya , Gereja Katolik melarang para  Hierarki Gereja tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis.[9] Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai wakil rakyat atau pejabat Negara seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan wakil presiden. Ketika terlibat dalam perebutan kekuasaan, diri mereka terkena hukuman dan wajib meninggalkan status hidup religiusnya. Ada beberapa skandal yang terjadi, misalnya Ferdinand Hugo presiden Paraguay dan seorang Imam SVD Philipina yang sudah menjabat sebagai Gubernur dan sekarang sedang meloncat ke arena yang lebih luas lagi yaitu pertarungan sengit untuk menjadi presiden di negeri itu. Sedangkan kaum awam beriman Kristen dan yang tidak terbilang dalam hierarki Gereja mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk berpolitik praktis, tanpa mengatasnamakan Gereja.[10]

Bagi orang kristen, terlibat dalam  dunia politik merupakan anugerah yang terbesar, mengingat misteri inkarnasi sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Allah menjadi manusia merupakan pencerahan bagi manusia karena Allah turut berpartisipasi dengan kehidupan manusia dan rela menjadi bagian dari anggota masyarakat. Kekotoran dan kehirupikikukan dunia ini tidak menghalangi rencana Allah untuk terlibat aktif dan menjadi bagian dari kekotoran dunia itu. Maka secara teologis, keterlibatan umat beriman dalam politik bangsa mendapat akarnya dalam misteri Inkarnasi. Keterlibatan anggota Gereja dalam politik merupakan rahmat terbesar karena sudah memenuhi panggilan terbesar untuk peduli terhadap persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Politik dibagi dalam dua bentuk yaitu politik kekuasaan dan politik kepeduliaan sosial (kemanusiaan).[11] Politik kekuasaan berurusan dengan tehnik dan organisasi untuk memiliki kekuasaan dan mempertahankannya. Sementara mereka yang tidak terjun dalam pertarungan perebutan kekuasaan, mengaplikasikan politk dalam kepeduliaan sosial, tanggung jawab dan panggilan kewarganegaraan. Keberadaan kita dalam satu lingkungan sosial (negara) adalah keberadaan politis (politisches sein).

Perjuangan, keberpihakan dan keterlibatan Gereja terhadap masalah-masalah kemanusiaan dalam ekrangka politik kemanusiaan. Karena yang diperjuangkan oleh Gereja adalah harkat dan martabat manusia baik sebagai persona maupun sosial dan bukan kekuasaan. Gereja memberikan ajaran sosialnya tentang nilai-nilai kemanusiaan luhur dan yang perlu dijamin serta tentang hak-hak dan kewajiban moral yang harus diperhatikan. Walaupun berpolitik dewasa ini tidaklah mudah, namun iman menuntut kita untuk berkiprah di bidang ekspresi iman. Sebab tujuan  kita adalah terwujudnya kerajaan Allah dalam suasana yang nyata yaitu dalam kenyataan hidup yang kelihatan. Dan kita membawa Kristus yang tak kelihatan itu ke dunia yang kelihatan yaitu dunia yang penuh dengan catatan hitam kemiskinan, kejahatan dan ketidakadilan   yang harus diselamatkan olehNya yang tak kelihatan.

Namun tindakan Gereja ini bukan tanpa tantangan. Gereja dalam tindakan karitatifnya mengundang isu kristenisasi. Padahal di tengah adanya pluralitas ini, saling menghargai dan penerimaan atas orang lain sangat dijunjung tinggi. Tidak ada lagi tindakan inklusif yang memandang keselamatan itu hanya terdapat dalam agama tertentu.

Penutup  

           Gereja sebgaai agen ekselamtan ahrus menawarkan keselamtan yang universal yaitu menyangkut kehidupan segenap umat manusia. Gereja tidak mebenarkan adanya sikap diam terahdap segala persoalan pelik bangsa ini.  Gereja ahrus menjadi tubuh yang peka akan tanda-tanda zaman dan masuk secara terbuka dalam pergulatan zaman itu.

           Gereja masa depan harus kembali menjadi gerakan rohani di tengah dunia ayng konkret. Ghereja khususnya tokoh-tokoh inti Gereja seyogyanya terlibat langsung dengan keprihatinan umat manusia yang tengah mencari makna hidup yang lebih mendalam.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 


[1] http://www.teologi.net/033-Bag1Sek2Bab3Art9Pas1.htm, diakses hari minggu 1 november 2009, Pkl.    10.12.

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik, diakses, Rabu, 4 november 2009, Pkl. 10.00.

[3] Y.B. Priyanahadi, dkk (ed). Y.B. Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan, Yogyakarta: kanisisus, 1999, hlm. 108

[5] Eddy Kristiyanto, OFM., Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta: Lamalera, 2008. Hal. 1

[6] Ibid.

[7] Ibid. Hal. 97.

[8] Gaudium et spes No.1

[9] KHK, 287.&.2

[10] OpCit. Eddy Kristiyanto, OFM.. hal. 3.

[11] Amatus Woi, Filsafat Politik. Maumere: Ledalero.

2 komentar di “GEREJA DAN POLITIK (Mendesain Kembali Keterlibatan Gereja dalam Politik Bangsa)

  1. saya setuju sama2 seimbang dalam dunia politik,mengapa saya tujuan?karena politik adalah kebijakan dari pemerintah untuk mensejahtakan masyarakat

Tinggalkan komentar